Cintaku yang terlarang

Posted by Admin | Posted in , | Posted on

Hujan begitu deras sore ini. Istriku, wanita sederhana yang kunikahi 3 tahun yang lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS.

Ah, mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan bersalah? Mengapa tidak bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan memang bangsat.

Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku padanya. Istriku? Bukan, Neva.

Wanita yang selama sepuluh tahun ini dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yang selalu membuatku merasa bersalah pada istriku.

Perkenalan pertamaku dengannya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tidak peduli karena waktu itu aku baru putus dari pacarku.

Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia memutuskanku begitu saja. Neva bertubuh sedang, rambut dipotong pendek ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yang paling menarik adalah sinar matanya yang hangat, tulus , bersahabat dan selalu tertawa.

Seminggu orientasi aku masih tidak begitu peduli bahkan sering terganggu dengan gaya ketawanya yang begitu spontan. Kebetulan kami satu regu.

"Mas.. mau kopi?" sapaan istriku membuyarkan lamunanku ttg Neva. Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku terhenti.

"Aduh... Yok... bagus ya desanya... Uih... kayak negeri para dewa," Neva spontan berkomentar saat kami tiba di desa yang terletak di lereng Merbabu.

Hm.. bener juga gumanku.

Tempat regu kami tinggal adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan lembut menyeruak di antaranya.

Setiap bangun pagi, aku selalu dikejutkan senyum Neva sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia bangun pagi).

 "Pagi.. Yok! uh... tadi bagus deh..." dan berceritalah dia tentang kegiatan jalan-jalan paginya.

Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu mandiri dia juga cerdas luar biasa.

Dia bisa bercerita mulai dari Nitsche, harga saham, Picasso, Pink Flyoid sampai kemiskinan.

Yang luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar, pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari keluarga yang cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.

Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi. Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia mengejutkanku dengan pernyataannya,

" Yok... aku ini sudah nggak perawan." Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yang dididik sejak kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya,

pernyataan seperti ini begitu mengguncang emosiku

"Ya... Tuhan... wanita seperti ini yang aku cari..." seruku dalam hati. Betapa jujurnya dia.

Dia bercerita tentang rasa cintanya yang begitu besar pada pacarnya, kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun.

Tanpa kutahu pasti, aku telah jatuh cinta padanya dan yang menyedihkan aku tidak berani menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku.

Kami main air di sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku dan sakitku bahkan aku dengan gaya yang sok berbesar hati sering mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya.

Setiap kali sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang persetubuhannya dengan pacarnya.

Neva... tahukah kau aku mencintaimu?

Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari sponsor bagi pasar murah yang akan kami selenggarakan. Tanpa terasa kami kemalaman.

"Nev... kita nginap di rumah ibuku yuk?"

Sungguh! Waktu itu aku tidak punya pikiran apapun. Dan seperti yang sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang, "Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik".

Ah.. betapa inginnya aku bilang, "Dia wanita yang kuinginkan jadi istriku, bu".

"Yok... aku tidur dimana?" tanya Neva.

"Dikamarnya Iyok aja, nak. Itu di kamar depan." ibuku begitu bersemangat menata kamarku.

"Wah... ntar Iyok tidur dimana?"


"Biar tidur di sofa ruang tamu".

Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang, hanya kamarku yang terletak di depan.

Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu pada Neva. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya.

Seperti ada yang menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Neva tidur dengan memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai.

Ya... ampun baru kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya dengan lembut.

Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali. Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan yang tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu.

Neva membuka matanya, dan baru kusadari betapa indah mata itu.

"Yok?"

Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa di lidahku.

Tanpa terasa sesuatu yang keras menyembul dari balik celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli.

Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku. Lalu dengan gerakan yang begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas ciumannya dengan ciuman di dadanya.

Ya... ampun... dia tidak memakai bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang.

Tanganku masuk dari bawah dasternya.

Ugh... dadanya begitu penuh.

Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku. Tiba-tiba dia menggerang,

" Don... ah...". Bagai tersengat listrik, kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku. Dia menyebut nama pacarnya! Neva pun tersadar.

"Yok... maaf..." segera diambilnya kaosku.

"Pergilah... maaf... aku... aku... kangen sama Don". Diapun menundukan kepalanya. Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya justru membangkitkan gairahku.

Entah aku begitu yakin akan perasanku padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan keperjakaanku padanya.

Ya... aku masih perjaka! Meski aku pacaran serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yang begitu menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-tiba aku bertanya.

"Nev... maukah kamu mengambil keperjakaanku?"

"Tapi... Yok?"

"Aku tidak peduli Nev... aku mencintaimu... aku ingin kamu yang mengambilnya... aku ingin kamu menjadi istriku" sambil kugenggam tangannya.

Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Neva hanya terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke dadanya.

"Kamu begitu tulus...Yok...". Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya.

Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur.

Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku... ke tanganku... lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas... ke paha... ya ampun! Aku belum pernah melakukan ini.

Dulu dengan Rini aku hanya melakukan sebatas 'pas foto', itupun dengan baju yang terpakai.

Tiba-tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya, dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang bulat di hadapannya.

Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya, lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang.
Antara bingung dan gejolak yang luar biasa.

Dengan senyum manisnya, Neva menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung lidahnya di pangkal kelelakianku.

Aaggh... ya Tuhan... inikah Surga-Mu?

Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya..

Aku hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap bergejolak.

Demikianlah... hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia berkata...

"Yok... aku ingin memberimu hadiah yang tak kan kamu lupakan".

Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku.

Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut dimasukkannya ke dalam kewanitaanya.

Ugh... ah.. erangannya begitu mempesona.

Akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia berkata"
"
Ssst... I will make you happy Yok!". Terus dengan gerakan memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.

Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia memompa kewanitaaanya. Lalu dicengkeramnaya tubuhku kuat-kuat.

Aggh.. agh... seluruh ototnya meregang.

Putingnya tegak berdiri dan disorokannya ke mulutku.

Lalu dengan keliaran yang tak kubayangkan sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya.

"Ah... terus.. Yok.. terus... jangan berhenti" erangannya semakin mebuatku liar.

"Lagi... Yok.. lagi... ini ketiga kalinya... ayo Yok..." Dan tanpa dapat kutahan lavaku menyembur.

Neva segera menariknya keluar. Lalu dijilatinya cairan lava itu.

Kenapa dia tidak jijik? Dengan senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku.

"Nggak Yok... aku ingin membuatmu senang". Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya.

Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta dan ketiganya Neva yang 'memberiku'.

Hm... aku berjanji, suatu saat aku akan memberikan 'sesuatu' yang sangat hebat...

"Mas... kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?" Ah...lagi-lagi sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Neva... dimana kamu sekarang (istriku)?

"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri...
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."


Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun masih ada di tepinya.

Neni istriku tampak sesekali merapatkan pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu.

"Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina juga nggak apa-apa." keluh istriku.
Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara menerangkannya alasanku sesungguhnya.

"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu. "Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah. Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat segera membelalak dengan lucunya.

"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit. Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya tersinggung. Aku kelabakan

"Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana.

Sungguh mengapa aku begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku.

Saat aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipiku "Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil mengecohku.

Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.

"Nev.. sst.. ntar dilihat orang""Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha!Takut aku marah ya?

He.. he..." Dia masih ketawa geli.

Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-awutan itu dengan penuh kasih.

Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang seolah mengejek motorku yang semakin terseok.

"Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok sebelah kanan masih ada tempat yang kering.

Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.

"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan yang tak dapat disembunyikannya.

Segera diambilnya jari telunjukku dan dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah, begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan. Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas.

Warna hitam dari branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku. Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku.

Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....

"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya membuyarkan kenanganku.

Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami.

Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke diriku.

Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.

"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan ada kejengkelan di dalamnya.

"Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini nih!" sambil kupeluk istriku.

Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya.

Kurasakan balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa sayangku itu.

Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung lidahku, kemudian lehernya.

Dia lalu menengok dan dengan hangat diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya.


Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami. Ditariknya mulutnya dari mulutku

"Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu kuanggukkan kepala.

Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di hadapanku.

Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan).

Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif semakin menyorongkan dadanya ke mulutku.

Kedua bukit itu makin keras. Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari mulutku.
Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan gerakan yang menagihkan.

Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku, ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal. Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat gerakan makan es krimnya.

"Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev.. ahhhhhhh"

tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-tiba...

Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil ngobrol yang tak jelas.

"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak belakang.

"Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya meremas jemariku.

"Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin, pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya menyahut.

Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan kecut.

"Kematian adalah tantangan,
Kematian mempertegas kita untuk tidak melupakan waktu,
Kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa....kita saling mencintai..."

Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua kamarnya.

(satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang baik hati itu.

Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku dengan keharuan yang mendalam.

Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia. Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu ditangannya

"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain. Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku bergegas ke pondokanku.

"Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran?

Ada rasa cemas yang menyusup saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.

"Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...

"Yok?" bisiknya

"Ya?"

 "Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan keinginannya seperti dia.

Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke kamar Neva. Begitu kubuka kamar,

Neva ternyata telah menanggalkan seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam, hampir seluruh pakaian dalamnya hitam).

Dengan reflek kubuka bajuku segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa takut ketahuan.


Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya.

"masukin mas dah gak tahan lagi neeh"?? bisikan manja keluar dari mulut Neva.

Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan itu begitu khas, aku belum pernah membauinya.

Dengan reflek kujilati pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya.

Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu.

Aku begitu menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau film seperti ini.

Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit indahnya yang semakin keras dan mengeras.

Kupelintir kedua puncak hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur dengan air itu. Kuhisap lagi.

Kedua puncak hitam bukit indahnya semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu, kuremas-remas, kuperas dan...

"aaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.."

panggul Neva dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa.

"Oooohhhhh... Yesss!!!!"

dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya.. Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas.

Segera kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya. Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan puncak yag begitu keras.

Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama dan...

Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam. Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan rasa cintaku yang luar biasa.

"Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia...

Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan. Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira.

"Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."

Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.

"Aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"

Comments (0)

Posting Komentar